Pilpres 2024, Ke Mana Arah Dukungan Kelompok Intoleran?

Share Now

Mediabersama.com, Jagad politik kita hari ini diramaikan oleh langkah politik Cak Imin yang sebelumnya selama hampir satu tahun bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon Presiden. Namun karena proposal tunggal PKB yang mencalonkan Cak Imin sebagai Cawapres tak kunjung digubris, ditambah diubahnya nama koalisi (KKIR) yang sudah berumur nyaris satu tahun hanya dalam hitungan jam diubah menjadi Koalisi Indonesia Maju, tentu bagi Cak Imin ada komitmen yang dilanggar yang sudah ia bangun nyaris satu tahun.

 

Masuknya anggota baru ke dalam koalisi (Golkar dan PAN) tentu akan menambah daftar antrian peminat kandidat yang ingin maju sebagai cawapres. Apalagi Partai Amanat Nasional juga bersikukuh mengusulkan nama Erick Thohir sebagai cawapres. Sedangkan Cak Imin bersama PKB telah bersabar dan setia menunggu dalam waktu yang tak sedikit.
Semua dinamika ini tentu sangat menjadi pertimbangan bagi Cak Imin. Di lain sisi, tren perolehan suara PKB, partai yang dipimpin oleh Cak Imin terus mengalami kenaikan. Dibanding tren suara dua partai anggota baru koalisi Prabowo (Golkar dan PAN) yang cenderung mengalami penurunan. Hasil survei Litbang Kompas pada 27 Juli-7 Agustus 2023 menunjukkan, elektabilitas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berada di posisi tiga besar, menyalip Partai Golkar dan Partai Demokrat. Elektabilitas PKB naik 2,1 persen dibandingkan hasil survei pada Mei 2023.

 

Sedangkan survei mencatat suara Golkar terus melorot di posisi keempat dengan perolehan 7,2 persen. Padahal pada pemilu 2019 lalu, perolehan kursi Golkar di DPR berada pada urutan kedua setelah PDIP. Bahkan PAN hanya memperoleh 3,4 persen, terpelanting dari ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Dengan tren suara PKB yang terus mengalami kenaikan maka hal yang wajar PKB mengajukan proposal dengan menjadikan Ketua Umumnya sebagai cawapres. Dalam kalkulasi politik, akan aneh apabila proposal PKB dikalahkan dengan keinginan PAN yang notabene hanya meraih suara 6,84% pada pemilu 2019 yang bersikeras mencalonkan Erick Thohir sebagai cawapres.

Walau di sejumlah sigi elektabilitas Erick Thohir mengalami kenaikan.
Namun PKB memiliki competitive advantage yang belum tentu dimiliki oleh partai dan kandidat cawapres lain, dimana PKB menguasai daerah yang cukup menentukan dalam pertarungan pilpres yaitu Jawa Timur yakni memperoleh 4,19 juta suara pada pemilu 2019 dan sekaligus menjadi lumbung suara utama PKB secara nasional.

 

Nasi telah menjadi bubur, apa mau dikata proposal PKB yang mengusulkan Cak Imin sebagai cawapres tak kunjung disahkan oleh Prabowo dan Partai Gerindra. Namun disia-siakannya Cak Imin dan PKB justru menjadi peluang bagi Surya Paloh dan Partai Nasdem. Partai Nasdem yang sudah sejak lama mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden sangat menyadari kekuarangan eloktoral calon yang diusungnya.
Dalam sejumlah sigi, elektabilitas Anies tertinggal jauh di Jawa Timur dan lemah di pemilih nahdliyin. Maka tak lama, pucuk dicinta ulam pun tiba. Cak Imin segera mengambil langkah “kancil” yang mengejutkan banyak orang. Langkahnya tak terduga dan segera mengubah peta politik nasional. Bahkan menimbulkan keriuhan serta hiruk pikuk drama politik nasional saat ini.

 

Duet Anies-Cak Imin bukan hanya mengagetkan, namun juga menyimpan kerumitan tersendiri. Anies yang dikenal didukung oleh kalangan islam-modernis yang memiliki ekspresi politik dan keagamaan yang berbeda dengan Cak Imin yang berakar dari kalangan nahdliyin tentu memiliki pekerjaan rumah yang tak mudah yakni mengkonsolidasikan basis sosial-politik yang berbeda dalam ekpresi politik dan keagamaan.
Namun yang menjadi pertanyaan, kemanakah arah dukungan kelompok intoleran yang kerap menggaungkan politik identitas dan NKRI Bersyariah pada Pilpres 2024?

(Kumparan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *